Friday, June 17, 2011

Badik Titipan Ayah

Sabtu malam 2 Oktober lalu, tepatnya pukul 23.00 Wita, layar televisi kita diwarnai sebuah narasi kehidupan berupa sajian fragmen budaya timur suku Makassar lewat film televisi (FTV) berjudul "Badik Titipan Ayah".

"Eja tompi na doang… Bukan udang namanya kalau tak merah. Itulah potongan ungkapan suku Makassar yang dirasa tepat untuk mewakili apa yang dituang oleh Dedi Setiadi ke dalam layar kaca, tontonan yang menguak sebagian jati diri suku Makassar.

Sampai saat ini beberapa orang teman dalam akun facebook-nya menulis update status tentang FTV Badik Titipan Ayah, umumnya didominasi kritikan pada penggunaan dialek Makassar para pelakon yang dinilai kurang pas. Memaksa orang selain suku Makassar (apalagi suku yang hidup jauh di luar tanah Sulawesi), untuk memahami budaya siri sama susahnya bagi suku Makassar untuk dipaksa mengenal kebudayaan suku lain, terutama bagi penduduk Makassar yang hanya menetap terus di tanah kelahirannya. Budaya mengambil ruang tersendiri dari peradaban, mendadar pemikiran dengan aksi konkret, menampakkan diri melalui ritual, dan yang patut dipuji adalah, budaya menjadi penopang kekokohan norma-norma agama. Salah satu contohnya, sikap menghargai orang lain sudah lama dianjurkan secara teologis, namun memandang bahwa saran itu juga lahir dari sebuah gagasan kulturis, tentu bisa jadi sangat benar. Tapi (tergantung Anda memandanginya dalam kacamata apa), ada budaya yang memang perlu dikoreksi dalam tahun-tahun yang berkembang. Dahulu baju bodo (pakaian adat Sulsel) desainnya sangat tipis sehingga "dalaman" pemakainya tampak jelas. Belakangan desain itu telah berubah terutama bagi pemakai muslimah. Inilah sebuah inovasi dari upaya mempertahankan budaya yang dilakukan kalangan kreatif. Namun, dengan budaya siri, adakah sebuah pengarahan paradigma yang pas? Dalam kacamata orang luar, kita (saya dan Anda) yang dipandang sebagai orang Makassar, masih sangat sering diidentikkan dengan perangai kasar. Dimulai dari pemberitaan media massa tentang kekerasan di Makassar yang begitu barbar, ditambah lagi dengan kiriman-kiriman pandangan, lengkap sudah sosialisasi kita terganggu. Namun, kita tidak harus marah. Seperti kata Inayath Khan, kita perlu menguasai diri sebagai kunci dari segala kemajuan dan kebahagiaan. Kita tidak perlu membalas penilaian mereka dengan menguakkan segala kejelekan sukunya juga. Tak perlu, karena kita tidak akan menjadi mulia dengan tindakan itu, betapapun kita bermaksud ingin meluruskan pandangan mereka. Persoalan siri, dalam jagad modern seperti sekarang di mana kepala kita dijejali bacaan-bacaan dan tontonan akan kehidupan di tempat lain, sudah selayaknya kita dapat menempatkan makna siri dalam perkara yang sesuai. Apalagi, koridor hukum telah jelas, tentu kita tahu risiko yang akan didapat jika membunuh orang lain tanpa alasan jelas. Dengan pemahaman yang dalam tentang pengetahuan di bidang hukum, tentu kita tahu bahwa membawa kabur gadis, menghamilinya, membunuh sendiri pelaku, merupakan tindakan yang akan diendus polisi sebagai penegak hukum. Mengangkat sebuah kehidupan beserta tetek bengek-nya (termasuk budaya, pemahaman, setting tempat) ke dalam layar tontonan membutuhkan kepiawaian dan kerja keras kepalang tanggung. Film, adalah media transformasi pengetahuan yang paling "afdal" di luar bacaan. Dengan film dan bacaan, kita dapat merengkuh hal-hal yang tak bisa kita gapai. Dan seperti kebanyakan pembuat film yang lain, drama televisi garapan sutradara Dedi Setiadi ini dibuat ingin menyamai fakta yang ada. Penggunaan alur yang familiar dan setting tempat di kampiun budaya itu sendiri, Setiadi telah layak diacungi jempol atas kemampuannya mempertahankan orisinalitas cerita. Hanya saja, mengingat penokohannya melibatkan kalangan intelektual (mahasiswa), saya sangat berharap agar karakter “mahasiswa” dalam cerita itu mampu menjadi pelopor agen perubahan dengan bekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya, bukan malah ikut-ikutan menuruti emosi tetua. Sebuah alasan sentimental membuat saya menetapkan hati menonton FTV BTA, tidak hanya karena mengangkat tema yang kental mengenai budaya Bugis-Makassar , namun juga, salah satu pemainnya, Ilham Anwar (yang berperan sebagai Daeng Limpo) adalah Putra Soppeng, tempat saya bermukim.

Ada beragam ekspektasi merajai benak saya. Terlebih dibalik orang-orang yang mengerjakan FTV ini, terdapat sosok-sosok hebat di dunia perfilman mulai dari sang produser Deddy “Nagabonar”Mizwar, sutradara Dedy Setiadi dan bintang kawakan Widyawati yang berperan sebagai istri Karaeng Tiro. Aktor senior asal Makassar, Aspar Paturusi juga ikut berperan sebagai Karaeng Tiro dalam film ini. Beberapa bintang muda ikut meramaikan film BTA seperti Reza Rahadian, Tika Bravani dan Guntara Hidayat.

"FTV BTA menceritakan kisah keluarga Karaeng Tiro (diperankan oleh Aspar Paturusi) dan istrinya Karaeng Caya (Widyawati) dilanda prahara keluarga yang sangat memalukan (siri’). Anak gadis tunggal mereka mereka Andi Tenri (Tika Bravia) kawin lari tanpa restu orang tua (silariang) dengan kekasihnya Firman (Guntara Hidayat).

Karaeng Tiro lalu meminta anak lelaki tunggalnya Andi Aso (Reza Rahadian) untuk menyelesaikan persoalan tersebut melalui “jalan adat” Bugis-Makassar: jalan yang menggunakan badik.

Bagi orang Bugis-Makassar, persoalan siri’ adalah persoalan adat, dan harus diselesaikan secara adat pula, dengan memberikan titipan badik (senjata tajam ala Makassar) kepada putra sulungnya itu. Tugas Andi Aso tersebut didampingi oleh anak angkat Karaeng Tiro bernama Daeng Limpo (Ilham Anwar).

Konflik kisah ini dibangun dengan baik, terlebih ketika Andi Tenri diketahui hamil dan mengungkapkan kegalauan hatinya pada Firman. Dilain pihak, kegeraman Karaeng Tiro atas apa yang terjadi pada putrinya tercinta tersampaikan dengan bagus melalui akting ciamik Aspar Paturusi, salah satu aktor Makassar idola saya dulu.

Perasaan dilema yang melanda Andi Aso antara rasa sayang kepada adik perempuannya dan upaya melaksanakan amanah tersirat sang ayahanda untuk “menuntaskan” persoalan malu dan harga diri secara adat, terlihat begitu lancar dituturkan lewat akting Reza Rahadian yang pernah membintangi film “Alangkah Lucunya (negeri ini)” dan “Emak Ingin Naik Haji” ini.



Akhir kisah ini sungguh dramatis dan mencapai klimaksnya ketika Andi Tenri dan sang suami (sambil membawa bayi mereka yang baru lahir) nekad datang ke Bira, kampung halamannya. Andi Aso dan Daeng Limpo menyambut kedatangan mereka dengan amarah membara. Badikpun dihunus oleh Andi Aso, bersiap melakukan “perhitungan” dengan Firman yang juga sudah menghunus badiknya.

“Ingat, badik yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, pantang dimasukkan kembali sebelum melaksanakan tugasnya!,” tegas Daeng Limpo dengan mata menyala. Keadaan menjadi sangat tegang. Tanpa rasa takut sekalipun, Andi Tenri maju menghadapi Badik yang terhunus ditangan sang kakak, siap menghadapi kondisi terburuk sebagai wujud tanggungjawab dan resiko atas perbuatannya.

Ditengah situasi tersebut, Karaeng Caya yang dimainkan oleh Widyawati tampil menyelesaikan persoalan pelik itu secara elegan. Terlepas dari segala kontraversi yang terjadi, kearifan menyikapi masalah dengan tetap menegakkan kehormatan dan harga diri melalui berdamai atas segala ketidaksempurnaan merupakan jalan penyelesaian terbaik atas konflik yang terjadi secara humanis, dan dengan pendekatan cinta. Transformasi Siri’ pada kasus Silariang dalam BTA mencerminkan upaya menghadirkan harmoni berdasarkan azas kehormatan, harga diri dan kasih sayang bagi sesama.

Apapun pendapat teman-teman saya di situs pertemanan, saya tetap berpendapat bahwa film ini memang layak untuk ditonton, kendati hanya sebagian fragmen budaya Makassar yang dilibatkan, tapi setidaknya memberi pencerahan bagi suku selain Makassar, bahwa beginilah kita hidup dengan adat kita, dan bukan tak mungkin itu berubah suatu saat tergantung seperti apa kondisi kehidupan ke depan. Dialog yang dibuat "sangat Makassar" oleh para pemain (Aspar Paturusi, Widyawati, Reza Rahadian, Tika Bravani, Ilham Anwar dan sederet pemain lainnya) telah mengukuhkan posisi Deddy Mizwar (produser) sebagai kalangan yang nasionalisme dengan tetap menancapkan kearifan lokal melalui bidikan-bidikan sederhana (tapi bermakna kuat). Bohong besarlah kalau dikatakan mereka tak melakonkan dialek Makassar dengan tepat. Tapi kalaupun mereka tidak berhasil menjadi orang Makassar dalam hal linguistik, marilah kita mafhum, sama halnya sikap mafhum orang Amerika terhadap warga Indonesia yang dialek bahasa Inggrisnya menyedihkan. Akhirnya, secara keseluruhan, film televisi ini adalah metafora kehidupan berbudaya, gaung yang bergema keras tentang pergulatan emosi-hasrat-hegemoni personal-yang dipaparkan dengan indah dalam durasi dua jam, dan melibatkan panorama alam dan lingkungan perkotaan yang konon jarang diekspos media. Namun, secara faktual, pesan memaknai budaya siri-lah yang paling penting, bagaimana kita bersikap jika menjadi salah satu karakter yang diperankan dalam film itu. Dan tak kalah penting lagi, sungguh kita menjadi beradab bila mampu mengelompokkan budaya-budaya kita yang selama ini menjadi sorotan pihak luar.

No comments:

Post a Comment