Wednesday, March 23, 2011

Kanda' Kandala'ka, Kusta Bila Dusta

Kanda'kandalaka, Kusta Bila Dusta

[B2] Paramaya menyusun daftar istilah khas Makassar sembari mengingat-ingat pengalaman dan kenangan yang lekat dengan penggunaan istilah tersebut. Tujuannya sederhana saja, ingin melakukan pencatatan fenomena berbahasa di lingkungan sendiri, dan melihat sejauh mana pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing dalam istilah khas tersebut. Ini sekadar pencatatan bahasa a la orang biasa, yang semoga ada manfaatnya. (p!)

Pernahkah Anda mendengar istilah ini: “Kanda’-kandala’ka’ “ atau “Haramka’ kodong….” ? Dua istilah khas Makassar ini menegaskan seseorang bersumpah mengatakan hal yang sebenarnya, alias tidak berbohong. Penggunaannya banyak ditemukan di lingkungan pergaulan anak-anak. Secara sederhana, sumpah ini bisa diartikan bahwa orang yang mengucapkan kalimat itu rela menanggung hal yang paling tidak menyenangkan dalam hidupnya seandainya ia mengucapkan kebohongan.

Contoh penggunannya, “Kanda’-kandala’ kalau saya yang ambil uangmu!” Artinya, “Saya rela menderita penyakit kusta (kandala’) apabila saya yang mengambil uangmu!”

Kenapa harus kusta yang menjadi taruhan? Barangkali karena kusta dipandang sebagai penyakit yang paling tidak menyenangkan sekaligus menjijikkan. Penderita kusta mendapatkan diskriminasi sosial yang luar biasa di tengah masyarakat, sehingga orang yang mengucapkan sumpah itu, seolah menegaskan dirinya rela menjalani hal yang paling menjijikkan seandainya ia terbukti berbohong. Penjelasan ini cukup masuk akal, tampaknya.

Lantas, bagaimana dengan istilah “haramka’ kodong….” ?
Fungsi istilah ini sama dengan sumpah “kusta bila dusta”, tapi yang membuat penasaran adalah kata “haram” itu sendiri. Apanya yang menjadi haram? Orang yang mengucapkan sumpah yang berubah menjadi “haram jadah” bila terbukti berbohong atau ada arti lain? Ini masih bisa memunculkan jawaban beragam.




Bahasa Permainan dan Bahasa Gaul
Dalam pergaulan di Makassar, terdapat sejumlah istilah khas yang membutuhkan penjelasan panjang lebar bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sejumlah anggota milis Panyingkul! memunculkan beberapa istilah dalam permainan kelereng di masa kanak-kanak, yakni “resteng”, “dillas”, “rampi”. Bagi mereka yang mengalami masa kecil di tahun 1970-an dan 1980-an, ketiga istilah ini tentu sangat akrab, di mana jenis permainan kelereng “kil-kil” dan “ulu-ulu” sangat populer di masa itu.

Biasanya di sore hari, di halaman rumah atau pinggir jalan yang menyisakan sepetak tanah, anak-anak berkumpul membuka arena permainan kelereng dengan menggali lubang kecil (untuk permainan kil-kil) atau menggambar satu garis panjang tempat memasang kelereng (permainan ulu-ulu). Kabarnya, permainan kelereng ini semakin jarang dimainkan, karena tergeser playstation dan juga karena makin sulitnya mencari tanah terbuka untuk bermain. Karenanya, secara alamiah pula istilah permainan yang khas itu pun makin jarang terdengar.

Untuk bahasa pergaulan, tercatat sejumlah istilah khas yang tampaknya tak lekang oleh zaman. Istilah “kunci-kunci dunia” adalah salah satunya, yang merujuk pada pengungkapan suatu jumlah yang tidak terhingga. Istilah “kunci-kunci dunia” biasanya dilontarkan seorang bocah yang tak mau kalah dari anak-anak lainnya. Contoh penggunaannya: “Berapa kekayaan bapakmu? Cuma 100 triliun? Bapakku kekayaannya kunci-kunci dunia!” Waduh, siapa gerangan bapak yang memiliki kekayaan tidak terhingga itu.

Yang menarik dicatat, “kunci-kunci dunia” adalah bahasa Indonesia yang dalam arti sesungguhnya, karena tidak memuat satupun bahasa lokal. Dalam sejumlah istilah pergaulan, kekhasan dan nuansa Makassar justru menonjol karena adanya pengaruh bahasa daerah. Lihat saja istilah “bajiki, boss!” ( dengan versi lain “bajiki, gang!” ), “e de de nagigi’ maki’ e…” atau “takkancing maki’ e..”

Istilah “bajiki!” kurang lebih setara maknanya dengan ungkapan “yang bener aja…” dalam bahasa Betawi, namun menurut sejumlah orang, ada nuansa dalam ekspresi “bajiki!” ini yang tidak bisa diterjemahkan sepenuhnya ke dalam bahasa Indonesia. Sama halnya dengan ekspresi, “appoloi’ mako…” yang menggambarkan ekspresi “terpaksa gigit jari karena keadaan tidak berjalan seperti yang dikehendaki”. Nuansa “appoloe’ “ ini sulit diterjemahkan secara singkat dan sederhana, apalagi bila hanya merujuk pada arti harfiah “appoloe’ “
Yang dalam bahasa Makassar berarti “bersiul”. Mengapa situasi “terpaksa gigit jari” diwakili oleh istilah “bersiul” ?

Dari daftar kata yang disusun berdasarkan diskusi istilah khas Makassar di milis panyingkul!, bisa dilihat bahwa sejumlah besar istilah mendapat pengaruh bahasa Makassar yang sangat kental, namun ada juga beberapa kata yang terdengar unik dan seolah-olah berasal dari negeri antah berantah, seperti “resteng” dan “dillas” dalam permainan “kil-kil”.

No comments:

Post a Comment