Wednesday, April 20, 2011

Sindroma Salib

Sindroma Salib dan Sekitar Kematian
‘Isa al-Masih dalam al-Qur’an
Gambaran al-Qur’an dan kitab-kitab kuning mengenai keagungan ‘Isa sebagaimana yang dikemukakan di atas, pada akhirnya toh harus dibedakan dengan iman Kristen yang dianggap telah menyimpangkannya. Salah satu masalah yang menjadi perdebatan klasik Islam-Kristen adalah masalah akhir kehidupan ‘Isa, khususnya mengenai kematian-Nya di kayu salib. Padahal, seperti diakui oleh komentator tertua al-Qur’an, Ibn Jarir ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fii Tafsir al-Qur’an, berbagai penafsiran itu tidak pernah memuaskan. Bahkan banyak penafsir Islam yang keberatan dengan teori penggantian itu berdasarkan prinsip keadilan Ilahi.33

Misalnya, teori penggantian di kayu salib oleh orang lain (Simon dari Kirene, Yudas Iskariot) yang didasarkan atas surah an-Nisa’/4:157-158, tidak selalu memuaskan para penafsir Islam sendiri, karena secara gramatikal tidak cocok dengan maksud tersebut. Pertama, kalau seorang menggantikan Yesus mestinya digunakan kata ganti diri ketiga tunggal. Jadi, lakin syubiha lahu (melainkan yang disamarkan bagi dia) dan bukan lakin syubiha lahum (melainkan yang disamarkan bagi mereka). Kedua, ayat ini tidak menggunakan bentuk fi’il mar’ruf dengan subyek penjelas, melainkan bentuk fi’il majhul yang tidak menjelaskan siapa penggantinya.34 Munculnya teori penafsiran baru di kalangan sekte Ahmadiyyah, yang mengemukakan bahwa Yesus mati secara wajar dan kuburannya ditemukan di India,35 karena ketidakjelasan berita al-Qur’an sendiri mengenai akhir kehidupan ‘Isa al-Masih.

Sebab selain ayat-ayat al-Qur’an menegaskan kenaikan ‘Isa ke langit, pemberitaan mengenai kematian riil-Nya juga tidak kurang tegas. Teori penggantian yang lebih populer diajarkan dalam kitab-kitab kuning dan dianut kebanyakan umat Islam, juga mendapatkan ganjalan dari ayat-ayat yang menegaskan kematian-Nya. Karena itu, ungkapan “mutawaffika” (mewafatkan engkau) dalam surah Ali Imran/3:55, dalam sepanjang sejarah tafsir diartikan secara berbeda-beda. Ada yang mengambil makna “menidurkan”,”memegang dan menyempurnakan”, yaitu terkait dengan pengangkatan ‘Isa tanpa mengalami kematian di kayu salib sesuai dengan surah an-Nisa’/4:157-158.

Sementara itu para penafsir lain mengatakan bahwa ungkapan tawaffa adalah penghalus dari kata “mati”. Jadi mutawaffika maksudnya mumituka (mematikan engkau). Tafsir Ibnu Katsir,Jilid I, mengutip pendapat-pendapat ‘Ulama terdahulu yang menganut paham bahwa ‘Isa sudah mati, antara lain pendapat Qatadah:

Inni rafi’uka ‘illaya wa mutawaffika, ya’ni ba’da dzalika.36
Artinya: “Aku akan mengangkat engkau lebih dahulu kepada-Ku dan kemudian Aku mewafatkan engkau sesudah itu.”

Makna ini diterima juga oleh Ibnu Abbas r.a menurut riwayat Ali bin Abi Thalhah, tanpa menjelaskan kapan matinya: Inni mutawaffika ay mumituka.”Aku mewafatkan engkau, yaitu mematikanmu”. Juga, Wahb bin Manabbih menurut riwayat Ibnu Ishaq, mengatakan: tawaffihi llahi tsalatsa sa’at min awwal al-nahaar haina rafa’ihi ilaih. “Allah mematikan dia selama tiga hari, kemudian dihidupkannya kembali dan kemudian diangkatnya ke sisi-Nya”.37

Dari riwayat-riwayat tersebut, dibuktikan bahwa pada waktu dahulu masalah yang dihadapi umat Islam sebenarnya bukan pada penyangkalan akan kematian ‘Isa sendiri, baik yang dipercayai akan terjadi pada akhir zaman, maupun banyak riwayat lain yang justru membuktikan bahwa kematian itu telah terjadi, tetapi Allah menghidupkan kembali dan kemudian mengangkat ‘Isa ke sisi-Nya. Hal ini sesuai dengan kata qabla mautihi (“sebelum kematian-Nya”) dalam surah an-Nisa’/4:159 yang menegaskan kematian ‘Isa al-Masih. Para penafsir al-Qur’an biasanya mengartikan kematian ‘Isa al-Masih itu terjadi pada hari kiamat. Dengan demikian tafsiran ini disesuaikan dengan eskatologis hadits yang menantikan kedatangan kembali ‘Isa pada akhir zaman untuk mengalahkan Dajjal, dan kematian itu terjadi setelah ‘Isa menyelesaikan tugasnya sebagai Hakim yang adil.

Jadi, ‘Isa belum mati pada masa dahulu, tetapi akan dimatikan Allah pada hari kiamat. Tetapi kata yang mendahului ayat di atas: layu’minuna bihi (sungguh-sungguh beriman kepada ‘Isa) di sini secara gramatika bukan menunjuk masa depan (istiqbal, future tense) melainkan menggunakan kata kerja masa kini (mudhari’) meskipun kejadiannya pada masa lalu. Dengan demikian, berimannya kaum ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam ayat tersebut terjadi pada masa hidup ‘Isa bukan pada akhir zaman nanti.38 Dari uraian sekilas tersebut, persoalan sebenarnya pada sindroma salib, yang agaknya mendapat dukungan dari surah an-Nisa’/157-159, meskipun ayat itu makna sebenarnya masih kabur, dan konteksnya bahkan tidak sedang membicarakan iman Kristen, melainkan reaksi atas kesombongan orang Yahudi. Salah satu buktinya, para penafsir kuno tidak pernah keberatan bahwa ‘Isa sudah mati pada zamannya, dan Allah telah membangkitkan kembali pada hari ketiga, asal saja kematian itu tidak terjadi di kayu salib.

Dari uraian di atas, barangkali latar belakang ini dapat menjelaskan sindroma “salib Kristus” di kalangan masyarakat Islam yang sangat mewarnai penilaian mereka terhadap Kekristenan. Salah satu kitab kuning yang mungkin merekam salib tersebut, dapat disebut misalnya Ta’lim al-Muta’allim, karya Syeikh Zanuji, sebagai kitab panduan belajar santri yang sangat terkenal di pesantren:

Wa amma (anapun utawi) asbabu (pira-pira sebab) bisyani al-‘ilmi (lali marang ilmu) fa aklu (mangka iku) al-kuzbati (mangan tumbar) al-rrathbati (kang isih teles) wa aklu al-tufaa’i (lan mangan buah-buah) al-haamidl (kang kecut) wa nanthararu (lan ningali marang wong) ila al-mashlub (kang dipentheng)…39

Terjemahan:
Adapun perbuatan-perbuatan yang menyebabkan orang gampang lupa menghafal ilmu, antara lain makan tumbar yang masih mentah, buah-buahan yang masam dan melihat kepada salib …

Apakah karena dilatarbelakangi “sindron salib” ini, yang begitu kuat tanpa disertai tafsiran yang cukup bernilai historis mengenai akhir hidup Yesus, dan yang masih diperuncing oleh warisan perjumpaan kedua agama yang kurang mengenakkan, telah melahirkan ejekan kepada Kekristenan di Jawa? “Aja dadi Kristen (Jangan menjadi Kristen)”, begitu ejekan yang ditujukan kepada orang-orang Jawa yang menjadi Kristen di Ngoro,”marga wong Kristen mengko yen mati dipentheng” (sebab orang Kristen itu nanti matinya disalib). Kesan ini cukup mencolok, tetapi agak kurang efektif menahan orang-orang Jawa dari kultur abangan yang cukup besar melakukan konversi kepada Kekristenan, karena kepercayaan bahwa Yesus adalah Ratu Adil yang lebih mengisi relung-relung pengharapan dan degub kalbu kerinduan di dada mereka.

No comments:

Post a Comment