Cerita tentang terbentuknya Danau Tempe dan Empat buah sungai terbesar di Sulsel, masing-masing, Sungai Jenneberang, Sungai Sanrego, Sungai Tangka, Sungai Apareng, masih tertanam pada masyarakat Sulsel.
Betapa tidak, cerita yang turun-temurun itu, membawa kisah yang memberi pelajaran hidup dan berkeluarga. Kepada anak-cucunya, masyarakat Sulsel, masih kerap menceritakan kisah ini dengan harapan, sang anak menjadi penurut kepada orang tua.
Seorang peneliti budaya Sulsel, Drs Suradi Yasil, di perpustakaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Budaya Sulsel, kembali mengurai cerita tersebut. Cerita ini berawal dari kehidupan sebuah keluarga yang hidup di daratan pertama Sulsel, yakni puncak Gunung Bawakaraeng. Keluarga ini terdiri atas sepasang orang tua dan empat orang anaknya. Namun keempat anaknya tergolong anak yang malas, walau tiap hari mereka dinasehati, mereka tetap saja berbuat semaunya.
Tapi kedua orang tua mereka sangat menyayangi mereka sehingga mereka terus dididik dan diberi pengetahuan tentang cara bercocok tanam. Suatu hari, ketika pasangan suami istri ini pulang dari berkebun dengan bersimbah keringat, mereka melihat keempat anak mereka hanya bermain. Saat itu juga, amarah sang ayah memuncak dan mengambil sepotong kayu namun sang ibu melarang perlakuan sang ayah.
Melihat kejadian itu, semua anak-anak mereka berlarian ke arah yang berlainan. Sang ayah akhirnya menyesali perbuatannya dan mengejar anak bungsunya agar tidak meninggalkan orang tuanya. Tapi sang anak ternyata salah sangka, dia mengira dikejar untuk dipukuli sehingga dia menambah kecepatan larinya.
Sang ayah tetap mengejar anaknya sambil menangis dan tiba di wilayah Wajo. Air mata ini begitu deras sehingga menjadi telaga yang kini dikenal dengan sebutan Danau Tempe. Sedangkan sang anak tetap berlari ke pantai Teluk Bone dan menceburkan diri sehingga berubah menjadi seekor lumba-lumba. Perbuatan yang sama juga dilakukan sang ayah, dia juga menyeburkan diri ke pantai dan berubah menjadi lumba-lumba.
Jejak kaki anak bungsu ini meninggalkan bekas dengan cucuran air mata sehingga menjadi sungai yang dikenal dengan nama Sungai Sanrego atau Sungai Cenrana.
Adapun anak sulung, sewaktu dikejar sang ayah berlari ke utara lalu membelok ke timur dan tiba di sebuah tempat yang disebut Sinjai. Jejak langkahnya pun juga membekas dengan air mata dan menjadi sungai yang dikenal dengan nama Sungai Tangka.
Sedangkan anak yang lainnya berlarian ke arah barat sehingga tiba di pinggir pantai selat Makassar. Jejak kakinya pun juga berubah menjadi sungai yang disebut dengan Sungai Jenneberang.
Anak-anak ini juga, menceburkan diri ke laut sehingga berubah menjadi lumba-lumba. Sang ibu yang menanti kepulangan suami dan anak-anaknya selalu menangis sehingga air mata ini juga melahirkan beberapa anak sungai.
Karena penantiannya sia-sia, maka sang ibu juga menyusul suami dan semua anaknya. Namun karena tidak menemukannya, maka sang ibu juga menceburkan diri di Teluk Bone dan berubah menjadi lumba-lumba. Jejak kaki sang ibu pun berubah menjadi sungai yang kini dinamakan Sungai Apareng.
"Demikianlah mithologi munculnya lima buah sungai di Sulsel. Namun sampai sekarang, cerita ini masih sering dituturkan masyarakat terutama para nenek kepada cucu mereka," tutup Suradi.
Dikatakannya, cerita rakyat tentang asal mula terbentuknya Danau Tempe dan Empat sungai di Sulsel ini memberikan gambaran tentang cara orang tua mendidik anak yang tidak harus dengan kekerasan. Dalam cerita ini, ada pelajaran berharga yang dapat dipetik untuk membina sebuah keluarga yang damai.
"Walaupun dalam konsep budaya masyarakat Bugis-Makassar menunjukkan cerita rakyat lahir, tumbuh, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat tanpa diketahui penciptanya. Namun masyarakat menganggap cerita tersebut sebagai warisan. Sehingga cerita tersebut tetap bertahan dari generasi ke generasi," kata Drs Suradi Yasil, seorang peneliti budaya, di perpustakaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Budaya Sulsel.
No comments:
Post a Comment